Dalam Keseharian Digital - Kebiasaan membuka ponsel dan tanpa henti menggulir berita-berita buruk telah menjadi ritual tak terelakkan bagi banyak orang. Fenomena yang dikenal sebagai doomscrolling ini bukan sekadar kebiasaan membuang waktu, melainkan sebuah respons terhadap rasa cemas dan ketidakpastian global yang berlarut-larut. Dorongan untuk terus memantau perkembangan krisis, mulai dari bencana alam hingga konflik politik, justru memerangkap kita dalam siklus informasi yang semakin memperburuk kondisi psikologis.
Aktivitas ini berakar pada sistem limbik otak, khususnya amigdala, yang mendorong insting "bertarung atau lari" untuk memastikan kelangsungan hidup. Dalam konteks modern, menggulir berita buruk dianggap sebagai cara untuk mengantisipasi ancaman. Namun, justru yang terjadi adalah peningkatan kewaspadaan dan kecemasan yang terus-menerus, membuat kita semakin sulit berhenti. Algoritma media sosial yang didesain untuk mempertahankan perhatian pengguna semakin memperkuat lingkaran setan ini dengan terus menyajikan konten bernada serupa.
Dampak terhadap kesehatan fisik dan mental sangat nyata. Para ahli dari Harvard menyebutkan efeknya dapat mencakup sakit kepala, ketegangan otot, kesulitan tidur, hingga peningkatan tekanan darah. Paparan berita negatif yang konstan meningkatkan kadar hormon stres kortisol, yang dapat menyebabkan kondisi hyperarousal, di mana tubuh terus siaga meskipun tidak ada ancaman nyata. Hal ini juga berkontribusi pada menurunnya kualitas tidur, terutama jika dilakukan sebelum waktu istirahat, akibat paparan cahaya biru dari layar dan beban kognitif dari informasi yang dikonsumsi.
Risiko ini lebih tinggi pada kelompok tertentu. Wanita serta individu dengan riwayat trauma atau kondisi kecemasan sebelumnya cenderung lebih terdampak. Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2023 dalam Applied Research in Quality of Life juga mengonfirmasi hubungan antara doomscrolling dengan penurunan kesejahteraan mental dan kepuasan hidup. Bahkan, aktivitas ini dapat memicu gejala yang lebih dalam seperti kecemasan eksistensial, yaitu perasaan takut atau panik saat menghadapi batasan eksistensi manusia.
Mengatasi kebijakan ini memerlukan penerapan batasan digital yang disengaja. Langkah sederhana namun efektif adalah dengan menjauhkan ponsel dari tempat tidur, sehingga tidak menjadi benda pertama yang dijamah di pagi hari. Membuat jarak fisik ini memberikan jeda bagi tubuh dan pikiran untuk mengatur ulang respons stresnya. Selain itu, mematikan notifikasi non-esensial untuk aplikasi berita dan media sosial dapat membantu mengambil kembali kendali atas interupsi yang terus-menerus.
Strategi lain yang direkomendasikan adalah mengubah tampilan ponsel menjadi skala abu-abu (grayscale). Cara ini mengurangi daya tarik visual layar dan, berdasarkan data awal, dapat menurunkan total waktu penggunaan. Penting pula untuk secara aktif mengkurasi lingkungan informasi, misalnya dengan lebih banyak mengikuti berita komunitas lokal yang cenderung lebih membangun atau dengan tegas menolak pembahasan topik yang terlalu mengganggu dalam percakapan.
Pada akhirnya, kunci untuk membebaskan diri adalah dengan mengganti kebiasaan tersebut dengan aktivitas yang memulihkan. Berpartisipasi dalam kerja sukarela, mengikuti kelas menari, atau sekadar berjalan-jalan di alam dapat menciptakan pengalaman emosional positif yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan paparan negatif. Jika kebiasaan doomscrolling terasa sangat sulit dihentikan dan menyebabkan tekanan yang signifikan, berkonsultasi dengan dokter atau profesional kesehatan mental adalah langkah bijaksana untuk mendapatkan bantuan yang tepat.