gambar dari kementrian kesehatan

Penting Untuk Menjaga Perilaku Sehat Sepanjang Hidup, Jangan Menunggu Munculnya Pandemi Lainnya

Sabtu, 08 Jun 2024

Diharapkan bahwa perilaku hidup sehat dengan menerapkan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 akan memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia. Kebiasaan rutin mencuci tangan dan menggunakan masker saat batuk atau flu sebaiknya dijadikan bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya saat pandemi.

Meskipun COVID-19 telah menjadi endemi, bukan berarti penyakit ini telah sepenuhnya hilang. Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 terus bermutasi, sehingga masih memungkinkan seseorang terpapar dan jatuh sakit.

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, MHK-IM, mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada. Meskipun kasus COVID-19 masih terjadi dalam masa endemi, namun jumlahnya tidak begitu banyak dan gejalanya tidak begitu berat. Oleh karena itu, tetaplah waspada dan jangan mengurangi kewaspadaan.

Prof. Hinky menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan tubuh agar terhindar dari infeksi COVID-19. Interaksi antara agen penyakit (virus), manusia (host), dan lingkungan sekitarnya menjadi awal mula terjadinya penyakit.

"Ketika host, agen penyakit, daya tahan tubuh, dan lingkungan tidak seimbang, maka penyakit akan muncul. Dengan divaksinasi, meskipun terinfeksi, gejala yang muncul tidak akan parah, tidak memerlukan perawatan di ICU, dan tidak sampai sesak napas," jelasnya.

"Virus akan tetap ada dan berubah melalui mutasi. Oleh karena itu, kita harus tetap waspada, tidak boleh lengah, dan tidak boleh meremehkan situasi meskipun sudah divaksinasi.

Vaksin bukanlah satu-satunya cara untuk mencegah COVID-19. Perilaku hidup sehat seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan sirkulasi udara yang baik juga memiliki peran penting.

"Semua itu harus dilakukan bersamaan dengan vaksin. Jadi, meskipun sudah divaksinasi, namun tanpa masker dan tanpa menghindari kerumunan, masih mungkin terinfeksi. Dengan mematuhi protokol kesehatan dan vaksinasi, kita dapat melindungi diri lebih baik daripada negara-negara lain di seluruh dunia," ujar Prof. Hinky.

Selama pandemi COVID-19, informasi palsu tentang vaksin terus menyebar di media sosial. Salah satu informasi palsu yang beredar adalah bahwa melakukan vaksinasi COVID-19 sebanyak empat kali atau lebih akan melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Menurut Ketua Komnas KIPI Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, klaim tersebut tidak berdasar. Prof. Hinky menyatakan bahwa data menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan vaksinasi ulang justru memiliki risiko lebih rendah terkena COVID-19. Bahkan jika terinfeksi, gejalanya biasanya ringan.

“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi ulang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh,” tegas Prof. Hinky.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah memberikan edukasi tentang manfaat vaksin COVID-19. Pertama, vaksin COVID-19 merangsang sistem kekebalan tubuh. Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia akan merangsang timbulnya imun atau daya tahan tubuh seseorang.

Kedua, vaksin COVID-19 mengurangi risiko penularan. Tubuh seseorang yang telah divaksinasi akan merangsang antibodi untuk belajar dan mengenali virus yang telah dilemahkan. Dengan demikian, tubuh akan lebih siap menghadapi virus dan mengurangi risiko terinfeksi.

Tidak ada laporan kematian yang masif akibat vaksin COVID-19. Klaim yang beredar di media sosial tentang prediksi kematian akibat vaksin mRNA dalam 3 atau 5 tahun adalah keliru dan tidak benar. Menurut Prof. Hinky, setelah pemberian vaksin COVID-19 dilakukan pemantauan pasca-pemasaran (PMS) untuk melihat kondisi orang yang telah menerima vaksin. Sudah lebih dari 3 tahun sejak vaksin tersebut diberikan, namun belum ada laporan mengenai kematian masif akibat vaksin mRNA baik di jurnal maupun dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di Indonesia pun tidak ada laporan serupa.

Pada tahun 2022, muncul sebuah video di media sosial yang mengklaim bahwa vaksin COVID-19 mRNA dapat menyebabkan kematian pada lansia di atas 70 tahun dalam waktu 2 hingga 3 tahun setelah divaksinasi. Namun, pernyataan dalam video tersebut tidaklah benar.

Hingga saat ini, belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa kematian setelah divaksinasi disebabkan secara langsung oleh vaksin. Kasus kematian pasca-vaksinasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, hormon, dan penyakit bawaan.

Profesor Hinky menegaskan bahwa klaim tersebut juga tidak benar. Kematian pada lansia mungkin disebabkan oleh kondisi komorbid atau memang mereka terinfeksi COVID-19. Sampai sekarang, tidak ada laporan yang menyatakan bahwa vaksin COVID-19 mRNA menyebabkan kematian pada lansia.



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.