Stetoskop telah ada selama hampir 200 tahun dan masih digunakan oleh setiap dokter. Fungsinya yang penting adalah untuk menilai suara detak jantung, apakah normal atau tidak. Dokter dapat mendeteksi irama jantung yang tidak teratur melalui stetoskop. Pemeriksaan awal dengan stetoskop sederhana sangat berguna untuk mengetahui dengan cepat apakah seseorang sakit dan membutuhkan perawatan darurat untuk menyelamatkan nyawanya. Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K), FIHA, FASCC, mengatakan bahwa stetoskop masih diperlukan oleh semua dokter yang melayani pasien dalam mendiagnosis penyakit jantung dan pembuluh darah. "Stetoskop ini terutama digunakan untuk mendiagnosis penyakit katup jantung, penyakit jantung kongenital, dan penyakit jantung paru," jelas dr. Anwar di Jakarta, Sabtu (15/6). Namun, untuk penyakit jantung koroner dan gagal jantung, peran stetoskop saja tidak cukup besar. Kecuali jika stetoskop dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), sehingga suara dari jantung dan paru-paru dapat diubah menjadi data digital," tambah dr. Anwar. Di masa depan, pemeriksaan deteksi dan diagnosis penyakit jantung akan semakin canggih dengan penggunaan stetoskop pintar berteknologi kecerdasan buatan (AI). Stetoskop ini akan meningkatkan keandalan dan akurasi diagnosis dengan stetoskop konvensional yang digunakan saat ini. Prinsip dari AI adalah mengumpulkan data suara jantung dan bunyi murmur suara jantung, kemudian menganalisisnya menggunakan berbagai algoritma. Dengan demikian, penggunaan stetoskop pintar ini akan meningkatkan akurasi diagnosis melalui pendekatan auskultasi. Teknologi AI ini akan sangat bermanfaat dalam skrining penyakit jantung oleh dokter di puskesmas dan klinik sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit. Penggunaan Stetoskop AI Sebuah penelitian uji coba telah dilakukan di Inggris untuk menguji penggunaan stetoskop yang dilengkapi dengan teknologi AI guna membantu dokter dalam mendeteksi dini gagal jantung pada pasien dan mengurangi biaya perawatan. Penelitian ini dilakukan di National Heart and Lung Institute and Centre for Cardiac Engineering, Imperial College London, London, Inggris dan hasilnya telah diterbitkan dalam jurnal berjudul "Point-of-care screening for heart failure with reduced ejection fraction using artificial intelligence during ECG-enabled stethoscope examination in London, UK: a prospective, observational, multicentre study" di The Lancet Digital Health pada tanggal 5 Januari 2022. Dalam penelitian ini, para peneliti menggabungkan algoritma stetoskop AI baru dengan EKG. Hasilnya, perangkat ini mampu mendeteksi gagal jantung dengan tingkat sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas yang tinggi sebesar 80%, dibandingkan dengan tes diagnostik rutin yang invasif dan mahal. Temuan ini menunjukkan potensi skrining penyakit jantung yang murah dan non-invasif untuk diagnosis dan pengobatan dini. Selanjutnya, teknologi AI ini akan diujicobakan secara nasional di layanan kesehatan primer di Inggris untuk membantu dokter dalam mengevaluasi gagal jantung. Uji coba ini melibatkan 100 praktik dokter umum di barat laut London dan Wales Utara serta merekrut lebih dari 3 juta pasien untuk menerima pemeriksaan stetoskop AI atau melanjutkan perawatannya. Sebuah tim kolaborasi yang terdiri dari insinyur, dokter, dan ahli kesehatan masyarakat di Johns Hopkins University, Baltimore, Amerika Serikat telah berhasil mengembangkan perangkat teknologi digital yang dapat merekam suara dengan peredam bising, serta menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu petugas kesehatan dalam mendiagnosis pneumonia secara akurat. Stetoskop pintar (smart stethoscope) ini dapat digunakan di berbagai negara untuk mencegah kematian anak akibat pneumonia. Dengan teknologi elektronik yang lebih canggih, stetoskop ini dapat memperkuat suara yang didengar. Penerapan perangkat medis ini dengan dukungan teknologi dapat membantu dalam memfilter kasus pneumonia dengan membedakan pola pernapasan yang normal dan tidak normal, terutama dalam mendeteksi suara mengi yang menunjukkan adanya cairan dan peradangan di paru-paru. Studi penelitian dilakukan untuk mengevaluasi kinerja stetoskop elektronik dalam lingkungan yang bising serta tingkat akurasi diagnosis pneumonia pada beragam populasi pasien. Para peneliti juga menganalisis suara paru-paru dan memvalidasi diagnosis dengan hasil rontgen dada serta penilaian dari ahli pulmonologi. Hasil studi ini dipublikasikan dalam jurnal berjudul "The Stethoscope Gets Smart: Engineers from Johns Hopkins are giving the humble stethoscope an AI upgrade" di HHS Public Access pada bulan Februari 2019. Membutuhkan Pemeriksaan Tambahan Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI telah merekomendasikan pentingnya deteksi dini penyakit jantung, terutama bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun dan kelompok risiko tinggi seperti penderita hipertensi atau diabetes. Untuk mendapatkan diagnosis yang akurat, terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti elektrokardiografi (rekam jantung), treadmill test, ekokardiografi (USG jantung), dan lain sebagainya. Sesuai dengan rekomendasi tersebut, dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, dr. Anwar Santoso, menjelaskan bahwa untuk memastikan diagnosis yang pasti pada penyakit jantung dan pembuluh darah, masih diperlukan penggunaan alat-alat penunjang. "Dalam hal ini, diperlukan alat-alat penunjang seperti Chest X-ray, pemeriksaan laboratorium terkait, Echocardiography, cardiac-MRI, dan CT-scan. Setiap jenis pemeriksaan penunjang tersebut memiliki indikasi yang spesifik untuk penyakit jantung dan pembuluh darah yang telah disebutkan sebelumnya," jelasnya. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, dokter masih menggunakan stetoskop konvensional. "Stetoskop konvensional masih digunakan karena teknologi stetoskop AI belum diterapkan di Indonesia. Tentunya, stetoskop konvensional digunakan sebagai langkah awal dalam proses diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut," terang dr. Anwar. Potensi kecerdasan buatan untuk mengubah dunia kesehatan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin pada tanggal 3 Juni 2024 mengungkapkan bahwa pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence di sektor kesehatan akan memberikan dukungan yang lebih akurat. Hal ini diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dalam peningkatan layanan kesehatan di Indonesia, terutama dalam mendeteksi penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dengan lebih mudah, cepat, dan presisi. Penggunaan AI dalam bidang kesehatan sejalan dengan dukungan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang melihat potensi AI dalam mengubah sistem kesehatan global. Transformasi kesehatan ini akan melibatkan pengembangan alat-alat canggih, obat-obatan, administrasi, diagnosis, pengobatan, dan perawatan pasien. Diharapkan bahwa teknologi AI dapat meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, mengatasi kekurangan sumber daya manusia, dan mengurangi biaya sistem kesehatan. Namun, keberhasilan implementasi AI akan sangat bergantung pada tata kelola yang baik, kesetaraan, data yang akurat, peraturan yang jelas, kebijakan yang mendukung, dan faktor-faktor lainnya. Pertumbuhan AI yang pesat menekankan pentingnya kolaborasi untuk memanfaatkan teknologi ini dalam sektor kesehatan, sambil memastikan keadilan, inklusi, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia dan privasi. Dalam panduan yang diterbitkan pada tanggal 27 Mei 2024 dengan judul "Artificial Intelligence for Health", WHO mendukung negara-negara untuk membangun ekosistem AI yang aman dan adil di bidang kesehatan serta memfasilitasi berbagi pengetahuan melalui penyelenggaraan lokakarya dan pengarahan guna mendukung implementasi ekosistem AI. WHO bekerja sama dengan para ahli dan pemangku kepentingan di bidang kesehatan untuk memfasilitasi penggunaan AI dalam bidang kesehatan. WHO juga menyediakan alat bantu untuk membantu pengambil keputusan dalam mempertimbangkan manfaat dan risiko penerapan AI.
404
Target Pencapaian Cakupan Skrining Kesehatan Jiwa pada Tahun 2025
5 Situasi Darurat yang Dicover oleh BPJS Kesehatan