Bulan Mei merupakan waktu yang tepat untuk merenungkan kondisi pendidikan di Indonesia. Pada tanggal 2 Mei, Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional. Dalam semangat tersebut, Indonesia perlu membuka diri untuk belajar dari negara lain yang telah berhasil menciptakan ekosistem pendidikan yang kokoh, seperti Jepang. Keberhasilan Jepang dalam sektor pendidikan dimulai dari reformasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pemimpin Jepang setelah Perang Dunia II (1939-1945). Salah satu kisah terkenal terkait hal ini adalah bagaimana Kaisar Jepang Hirohito (1926-1989) mengambil langkah yang berbeda untuk bangkit dari keterpurukan. Setelah kekalahan, ia tidak mencari dokter, insinyur, atau ahli lainnya untuk memperbaiki negara, melainkan guru. Bagi Hirohito, kekalahan Jepang dalam pertempuran disebabkan oleh kegagalan sistem pendidikan. Pendidikan di Jepang tidak menghasilkan sumber daya yang berkualitas dan kalah dari AS. Kaisar menyadari bahwa sumber daya manusia AS jauh lebih unggul, sehingga menyebabkan kekalahan negaranya. Dari sinilah, reformasi pendidikan yang besar-besaran pun dilaksanakan. Sebulan setelah kekalahan, tepat pada 15 September 1945, pemerintah Jepang menerbitkan "Pedoman Kebijakan Pendidikan untuk Pengembangan Jepang Baru" yang mencakup 11 aturan. Aturan ini meliputi revisi buku pelajaran, penghapusan pelajaran yang berkaitan dengan militer, pengenalan pelajaran berbasis ilmiah, serta restrukturisasi Kementerian Pendidikan. Menurut akademisi Jepang, Susy Ong, dalam bukunya "Post-World War II Education Reform in Japan" (2020), tujuan dari 11 aturan tersebut adalah untuk mengubah mentalitas negatif yang umum di kalangan masyarakat, yang cenderung apatis, egois, dan kurang berpengetahuan. Akhir perang dijadikan sebagai momentum untuk merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat melalui pendidikan. Namun, reformasi pendidikan ini tidak sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah Jepang. Sebagai negara yang kalah perang, Jepang berada di bawah pengawasan ketat Amerika Serikat, yang juga ikut terlibat dalam penentuan kebijakan pendidikan di Jepang. Kedua negara tidak memulai kebijakan pendidikan dari awal, melainkan mempelajari sistem pendidikan dari berbagai negara yang telah berhasil, kemudian dimodifikasi sesuai dengan kondisi Jepang. Dari sini, terlihat bahwa kurikulum pendidikan yang sebelumnya berisi propaganda militeristik dan ultra-nasionalisme harus dihapus. Sebelumnya, anak-anak di Jepang diajarkan untuk selalu patuh dan rela berkorban demi negara. Materi propaganda yang menggambarkan Jepang sebagai negeri para dewa juga dihilangkan, karena terbukti dapat membangkitkan semangat warga yang berujung pada Perang Dunia. Dengan demikian, penghapusan ini didasarkan pada upaya untuk mencegah terulangnya peristiwa Perang Dunia II. Lebih jauh lagi, terbukti bahwa penekanan pada materi seperti itu memiliki konsekuensi yang signifikan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat mengaburkan penguasaan teknologi dan kemampuan berpikir logis, serta menghambat inisiatif dan rasa tanggung jawab sosial. Sejarawan Benjamin Duke dalam The History of Modern Japanese Education (2009) mencatat bahwa kurikulum baru mencakup pendidikan moral, pengembangan sains dan teknologi, kesetaraan, dan kewarganegaraan. Selain itu, guru diharuskan memiliki izin sebagai pendidik profesional. Jepang melakukan rekrutmen besar-besaran untuk menjadi guru dan melatih mereka dari awal hingga sertifikasi. Bagi pemerintah Jepang, nasionalisme akan terbangun jika rakyat hidup sejahtera, yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang baik, bukan sebaliknya. "Membangun kembali Jepang melalui pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang berpengetahuan dengan keterampilan kerja agar mereka dapat hidup dengan baik. Rasa tanggung jawab sosial dan nasionalisme akan tumbuh dengan baik jika rakyat hidup sejahtera," kata Susy Ong. Singkatnya, reformasi pendidikan Jepang telah membuahkan hasil. Peter Cave dalam Primary School in Japan (2007) menyatakan bahwa dalam 10-20 tahun, Jepang berhasil menjadi penggerak ekonomi dunia antara 1960-1990. Lulusan Jepang dikenal unggul dalam sains dan teknologi, dan sistem pendidikannya diakui secara internasional serta menjadi model bagi negara-negara lain. Oleh karena itu, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Jepang bahwa untuk setara dengan Jepang, kurikulum pendidikan harus memprioritaskan sains, tidak menekankan materi ultra-nasionalis, dan meningkatkan kesejahteraan buruh.
404