Orang tua Sudarwati selalu diliputi oleh kekhawatiran. Kekhawatiran ini bukan disebabkan oleh perilaku nakal putrinya, melainkan oleh kondisi fisik Sudarwati yang berbeda dari anak-anak seusianya. Sejak dilahirkan pada 1 November 1937, ia sering mengalami sakit. Berbagai metode pengobatan telah dicoba, namun hasilnya tetap tidak memuaskan.
Dengan harapan agar nasib anaknya berubah, orang tua sempat mengganti namanya. Pertama, dari Sudarwati menjadi Kadarwati, kemudian diubah lagi menjadi Sumarti. Namun, rasa sakit yang dialaminya tetap berlanjut, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya.
Dalam keadaan fisik yang kurang baik, Sumarti akhirnya menemukan cara untuk melarikan diri: menyanyi. Ia tidak melakukannya untuk tampil di depan umum atau mencari perhatian, tetapi semata-mata untuk menghibur diri dan mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang terus mengganggu. Suaranya senantiasa mengalun di berbagai waktu dan tempat, dengan lagu-lagu karya Bing Slamet yang menjadi favoritnya.
Perhatian orang-orang mulai tertuju padanya. Mereka memberikan pujian atas keindahan suaranya. Sumarti pun mulai membangun keyakinan bahwa ia ingin menjadi penyanyi profesional. Namun, sayangnya, keinginannya itu tidak didukung oleh ayahnya, yang lebih berharap agar anaknya mengejar cita-cita yang berbeda. Hanya kakak-kakaknya yang memberikan dukungan.
Meski begitu, Sumarti tidak menyerah. Pada tahun 1954, ia memberanikan diri untuk pergi ke Jakarta secara diam-diam guna mengikuti kontes menyanyi. Tanpa diduga, salah satu juri dalam kontes tersebut adalah idolanya, Bing Slamet. Lebih mengejutkan lagi, Sumarti berhasil meraih kemenangan. Popularitasnya pun mulai meningkat.Sejak saat itu, ia melepaskan nama lamanya dan memilih nama baru: Titiek Puspa. Nama "Titiek" dipilihnya sendiri, sedangkan "Puspa" adalah bentuk penghormatan kepada ayahnya, Puspo.
Dari suara lembut seorang anak yang sering sakit, muncul sosok tangguh yang menjadi legenda.
Sepanjang hidupnya, Titiek menghadapi berbagai tantangan. Ketika masih kecil dan hidup di masa pendudukan Jepang, ia menceritakan pernah memakan kulit pisang yang ditinggalkan oleh tentara Jepang karena kelaparan yang ekstrem.
Perjuangannya berlanjut di era kemerdekaan, di mana iPada suatu ketika, mobil milik Titiek diambil secara paksa oleh para demonstran, meskipun kendaraan tersebut dibeli dengan hasil dari karier menyanyinya.
"Saya sangat terkejut, benar-benar terkejut," kenang Titiek dalam buku Titiek Puspa a Legendary Diva (2008).
Pengalaman hidup yang pahit mungkin telah membentuk pemahaman mendalamnya terhadap situasi yang tercermin dalam beberapa karyanya. Hal ini menjadi alasan mengapa Titiek mampu bertahan sepanjang zaman dan selalu memancarkan energi positif serta kesabaran.
Selama berkarier sebagai penyanyi, Titiek selalu beradaptasi dengan kondisi dan perkembangan dunia musik. Ia tidak ingin terpengaruh oleh tren asing yang banyak diminati oleh generasi muda Indonesia di setiap era.
Salah satu karya Titiek yang menarik dan menunjukkan empati adalah "Kupu-kupu Malam" (1991).
Lagu yang berdurasi sekitar 3-4 menit ini menceritakan pertemuannya dengan seorang perempuan yang secara kebetulan ia temui di tepi jalan, yang menjadi pekerja seks setelah ditinggal suami dan terjerat utang. Perempuan tersebut terpaksa bekerja untuk keluar dari kemiskinan dengan cara yang tidak sesuai norma.
"Ada yang benci dirinya, Ada yang butuh dirinya [...] Dosakah yang dia kerjakan, sucikah mereka yang datang [...] Apa yang terjadi terjadilah, yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya"
Dengan cepat, lagu ini menjadi populer dan disukai banyak orang. Pada saat itu, ia berhasil menyampaikan pesan-pesan sosial yang relevan di setiap zaman, sesuatu yang jarang dilakukan oleh musisi lainnya.
Pada hari Kamis, 10 April 2025, Titiek Puspa telah meninggal dunia. Kepergiannya meninggalkan kekosongan di dunia musik Indonesia. Selamat jalan, Titiek Puspa. Meskipun Titiek telah tiada, namanya akan selalu dikenang seperti bunga yang mekar dalam ingatan.a menjadi sasaran masyarakat dan mengalami fitnah yang berat. Pada tahun 1966, ia dituduh menerima mobil dan dianggap sebagai perempuan simpanan Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam, yang terlibat dalam kasus korupsi. Titiek segera membantah tuduhan tersebut, namun kemarahan masyarakat mengaburkan penilaian mereka.