Jakarta - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) mengeluarkan peringatan serius mengenai dampak krisis iklim terhadap generasi muda Indonesia. Dalam laporan terbarunya, UNICEF menegaskan bahwa anak-anak di Indonesia merupakan salah satu kelompok populasi yang paling rentan di dunia terhadap efek perubahan iklim. Peringatan ini didasarkan pada analisis mendalam yang mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari paparan bencana terkait iklim hingga akses terhadap layanan dasar yang dapat melindungi mereka.
Ancaman yang dihadapi bukanlah hal yang bersifat abstrak atau masa depan yang jauh. Anak-anak Indonesia saat ini sudah hidup dengan realita multi-ancaman iklim. Mereka secara rutin terpapar risiko banjir, longsor, dan badai siklon tropis yang semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Selain itu, polusi udara yang parah di banyak kota besar Indonesia menjadi ancaman permanen bagi kesehatan pernapasan dan perkembangan kognitif mereka, meracuni udara yang mereka hirup setiap hari.
Faktor yang memperparah kerentanan ini adalah kondisi kerawanan layanan dasar. Banyak anak di Indonesia tinggal di daerah dengan akses terhadap air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan yang masih terbatas. Ketika bencana iklim melanda, sistem layanan dasar yang sudah rapuh ini mudah sekali kolaps, membuat anak-anak semakin tidak terlindungi. Kombinasi mematikan antara paparan fisik terhadap bencana dan minimnya infrastruktur perlindungan inilah yang menempatkan Indonesia pada peringkat sangat mengkhawatirkan.
Dampak kesehatan langsung sudah nyata terlihat. Penyakit-penyakit yang sensitif terhadap iklim, seperti demam berdarah, diare, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), semakin banyak menjangkiti anak-anak. Polusi udara sendiri telah dikaitkan dengan peningkatan kasus asma, pneumonia, dan bahkan menghambat perkembangan otak anak. Krisis iklim bukan hanya merusak lingkungan, tetapi secara langsung merampas hak anak untuk tumbuh sehat.
Laporan tersebut juga menyoroti dampak tidak langsung yang sangat luas. Gagal panen akibat kekeringan atau banjir dapat memicu kerawanan pangan, yang berujung pada malnutrisi pada anak. Bencana iklim juga kerap memutus akses pendidikan ketika sekolah terdampak atau digunakan sebagai tempat pengungsian, mengancam hak belajar dan prospek masa depan anak-anak. Dalam jangka panjang, siklus kemiskinan dapat diperparah oleh guncangan iklim yang berulang.
UNICEF menekankan bahwa anak-anak adalah pihak yang paling sedikit berkontribusi terhadap penyebab perubahan iklim, namun justru menanggung beban terberat dari konsekuensinya. Mereka memiliki hak yang diakui secara internasional untuk hidup, berkembang, dan mendapatkan standar kesehatan tertinggi yang mungkin dicapai. Namun, krisis iklim saat ini secara sistematis mengancam pemenuhan hak-hak dasar tersebut bagi jutaan anak di Indonesia.
Menghadapi temuan yang mengkhawatirkan ini, seruan untuk aksi kolektif menjadi sangat mendesak. UNICEF mendorong pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk memprioritaskan anak-anak dalam semua kebijakan dan program terkait iklim. Investasi pada infrastruktur yang tahan iklim, sistem peringatan dini yang tepat sasaran, serta penguatan layanan kesehatan dan pendidikan yang inklusif adalah langkah-langkah penting yang harus segera ditingkatkan.
Masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana negara ini melindungi anak-anaknya hari ini dari badai krisis iklim. Tanpa tindakan yang terukur, cepat, dan berfokus pada anak, beban yang dipikul oleh 74 juta lebih anak Indonesia akan semakin berat, mengorbankan potensi generasi penerus bangsa dan keberlanjutan pembangunan nasional itu sendiri.